“Ketika aku mendengar suatu kalimat yang belum pernah kudengar, maka seluruh anggota badanku merasakan kenikmatan sebagaimana nikmatnya kedua telinga saat mendengarkannya.”(imam Syafi’i)
Berbicara mengenai sebuah perjuangan, maka tidak akan lepas kaitannya dengan segala hal yang tidak mengenakkan, pahit, penuh onak duri, pengorbanan, tetesan keringat dan air mata, tantangan, rintangan, baik jiwa maupun harta. Setiap orang pasti pernah merasakan hidup dengan melakukan suatu perjuangan. Dan tentu saja hal yang diperjuangkan tersebut berbeda-beda setiap masing-masing. Karena dalam meraih sesuatu ada kalanya seseorang tidak langsung dengan mudah mendapat dan meraihnya. Ada kalanya dia harus mengerahkan segala hal yang dia mampu untuk bisa mendapatnya. Salah satunya adalah perjuangan seseorang dalam mencari ilmu.
Mencari ilmu bukanlah suatu perkara yang mudah. Apalagi pada zaman dahulu, yaitu pada masa Rasulullah, para sahabat, tabi’in, dan para ulama. Jika kita menela’ah kembali sejarah islam, maka kita akan mendapatkan kisah hidup yang begitu menginspirasi dan bisa kita jadikan contoh serta teladan. Bagaimana para ulama zaman dahulu berjuang demi mendapatkan sepotong hadits Rasulullah, berhari-hari menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki, ada yang rela menjual baju, atau bahkan atap rumah sebagai bentuk pengorbanan mereka. Kisah-kisah perjalan hidup mereka tidak akan lekang oleh zaman, rasanya mustahil dapat melupakan sejarah hidup mereka yang memberikan manfaat bagi setiap orang, bukan hanya pada masa mereka hidup tapi hingga masa dimana kita hidup sekarang.
Siapa yang tak mengenal ulama satu ini, imam Syafi’i. Salah satu ulama cendekiawan dengan segudang ilmu yang hingga saat ini para umat islam merasakannya. Nama lengkapnyanya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’I bin Saib bin Ubaid bin Abi Yazid bin Hasyim. Nama panggilannya adalah Abu Abdillah. Namun beliau juga sangat terkenal dengan sebutan Syafi’i. imam Syafi’i lahir di sebuah daerah bernama Gaza, pada tahun 150 H, tahun dimana Imam Abu Hanifah wafat. Ayah beliau meninggal dunia pada usia muda, sehingga pada usia balita imam syafi’i adalah seorang anak yatim dalam pengasuhan sang ibu. Karena ibu imam syafi’I mengkhawatirkan pertumbuhanya kelak, maka tatkala menginjak usia dua tahun I mam syafii diajak pindah ke kampung halaman ibunya di Makkah, agar beliau dapat tumbuh disana dengan lingkungan yang baik, begitulah harapan mulia sang ibu terhadap anaknya. Menjalani hidup dalam kefakiran tentu bukanlah hal yang mudah bagi seorang wanita yang ditinggal wafat suaminya, terlebih ia harus membesarkan anak seorang diri. Namun karena keshalihan yang telah Allah karuniakan kepada seorang ibu, beliau berhasil mendidik sang anak hingga sukses menjadi seorang ulama besar dengan segudang ilmu.
Berkat kesungguhan sang ibu dalam perjuangan mendidik anaknya. Muhammad bin idris kecil sudah mulai menampakkkan kecerdasan intelektualnya dalam berbagai cabang ilmu. Diantaranya, beliau telah selesai menyelesaikan hafalan 30 juz Al-Quran pada usia 7 tahun. Selain itu beliau juga menghafalkan kitab hadits yang ditulis oleh Imam Malik. Kecerdasan beliau yang tinggi mulai tampak tatkala beliau menghafal hadits-hadits Nabi dengan cepat. Tatkala para Muhaddits menyampaikan hadits maka beliau akan mendengarkan dengan baik lalu menulisnya di atas kulit atau pelepah. Tak jarang beliau pergi ke kantor-kantor pemerintahan sekitar Makkah untuk mengumpulkan kertas-kertas setengah pakai yang masih layak agar beliau bisa menuliskan materi pelajaran yang telah didapat. Hal tersebut beliau lakukan tanpa rasa malu sedikitpun akan hinaan orang lain atas dirinya. Kondisi semacam ini, tentu bukanlah hal yang mudah bagi seorang anak kecil untuk melaluinya. Namun Muhammad bin idris yakin dengan usaha yang dilakukan serta berbalut doa kepada Sang Khaliq bahwa apa yang beliau perjuangkan saat ini akan mendatangkan hasil yang manis dikemudian hari.
Selain itu, diusia beliau yang masih terbilang dini, Muhammad bin Idris memiliki hobi memanah dan bersyair. Dengan kegigihan dan ketekunannya dalam menggeluti hobinya tersebut, beliau menjadi sangat mahir dalam memanah. Suatu ketika, beliau pernah melepaskan sepuluh anak panah, semua mengenai sasaran dan tidak ada satupun yang melesat.
Dengan kemampuannya dalam menulis dan melantunkan syair-syair arab yang indah, beliau cukup sering berkumpul dengan anak-anak penduduk daerah pendalaman untuk melantunkan syair bersama. Ketika beliau sedang asyik melantunkan syair bersama anak-anak lain, ada seorang laki-laki yang mendekati beliau seraya berkata “apakah kamu sudah merasa cukup dengan kemampuan yang kamu miliki sekarang? Kenapa kamu tidak manfaatkan kecerdasanmu untuk mempelajari ilmu fiqih. Sesungguhnya umat islam membutuhkan ilmu tersebut.” Mendengar perkataan tersebut, imam syafii kemudian merenung, dan menyadari kebenaran apa yang telah dikatakan oleh lelaki tersebut.
Menginjak usia dewasa, imam syafii mulai mencoba melakukan perjalanan menuntut ilmu ke berbagai penjuru daerah. Beliau merasa belum cukup atas keilmuaan yang dimilikinya. Dari Mekkah beliau bertolak ke Madinah. Setelah mendengar kabar mengenai pemimpin Madinah yang memiliki keilmuan tinggi, membuat beliau semakin bersemangat menuju ke kota Madinah. Dengan bekal seadanya, dan diiringi Ridha sang ibu, imam syafii berangkat ke Madinah dengan berjalan kaki untuk mengarungi Samudra ilmu. Perjalanan panjang beliau tempuh dengan semangat dan Azzam yang membara di dalam dada yang menunjukkan kehausannya terhadap warisan Nabi, yakni ilmu.
Setelah melewati proses panjang akhirnya imam syafii dapat bertemu dengan salah satu imam yang begitu popular, yaitu Imam Malik. Dari beliau imam syafii belajar banyak hal. Beliau mengikuti berbagai majlis bersama sang imam di masjid-masjid. Tatkala sang imam sedang menjelaskan sebuah pelajaran, beliau melihat imam Syafii sedang memainkan tikar setelah membasahinya dengan air liurnya di atas telapak tangannya. Imam Malikpun menjadi bersedih, padahal dalam majlis tersebut imam malik telah menyampaikan empat puluh hadits. Seakan imam Syafi’i tidak menghargai dirinya yang berbicara di depan. Setelah majelis tersebut selesai, barulah sang Imam mencoba untuk mendekati muridnya itu, lantas berkata, “wahai Muhammad bin Idris, kenapa kamu bermain-main ditengah pembacaan hadits Rasulullah?”, dengan wajah merunduk Muhammad bin idris menjawab pertanyaan sang Imam, “wahai guruku, sesungguhnya tadi aku tidak sedang bermain-main, aku hanya menulis dengan ludahku apa yang anda sampaikan agar aku tidak lupa, karena aku adalah seorang anak yang fakir dan tidak memiliki uang untuk membeli kertas dan juga pena.” Imam Malik tertegun kagum mendengar jawaban dari sang murid. Hatinya dibuat luluh oleh sang murid. Datang dari daerah yang jauh dengan tidak membawa bekal yang memadai, namun begitu gigih. Ditengah kondisi hidup yang berat dan begitu sulit, Muhammad bin idris mampu membuktikan dengan Azzam dan semangat yang tinggi serta pengorbanan dan perjuangan berat, bahwa ilmu bisa diraih oleh siapa saja yang ingin bersungguh-sungguh.
Kisah perjalanan hidup beliau dalam menuntut ilmu memberikan gambaran nyata kepada kita bagaimana seharusnya kita berjuang untuk mewujudkan suatu hal yang ingin kita capai dalam hidup. Terkadang manusia terlalu mudah untuk mengeluh tatkala baru menghadapi sedikit ujian. Kita melupakan yang Namanya hakikat perjuangan. Ingatlah kawan…seandainya ilmu itu dapat diraih dengan angan-angan belaka saja, maka kita tidak akan mendapatkan orang bodoh di dunia ini.
Sragen, 24 oktober 2019
Identitas penulis:
Nama: Radhiyatun Nisa’
ID Instagram: zahwazahari02@gmail.com
No. WA: 081353249864
Alamat: Ma’had Aly Hidayaturrahman, Pilang, Masaran, Sragen, Jawa Tengah